Menurut The Power of Habit karya Charles Duhigg, otak manusia merancang rutinitas untuk menghemat energi. Tapi jika dibiarkan tanpa kendali, otak bisa mengukir kebiasaan buruk dalam sistem otomatisnya. Sekali tercetak, pola itu bekerja seperti lintasan kereta berjalan sendiri bahkan ketika kamu ingin berhenti.
Kamu bangun tidur dan langsung buka HP. Niatnya lima menit, tapi tahu-tahu udah setengah jam. Siang harinya niat mau fokus kerja, tapi malah buka tab YouTube dulu biar ‘pemanasan’. Malamnya pengen tidur awal, tapi terjebak scroll TikTok sampai lewat tengah malam.
Kamu tahu itu buruk. Tapi kenapa tetap dilakuin? Jawabannya ada di otakmu.
Kebiasaan buruk itu bukan soal niat yang lemah, tapi sistem saraf yang sangat efisien. Otak merancang jalur otomatis agar kita tidak perlu mikir terus-menerus. Sayangnya, sistem itu netral. Kalau yang sering kamu lakukan adalah hal buruk, ya itu juga yang akan jadi otomatis.
Berikut ini lima cara otak membentuk kebiasaan buruk dan yang lebih penting, bagaimana cara mutusin polanya.
1. Otak suka pola yang mudah ditebak
Otak menyukai kepastian. Kalau kamu biasa ngemil saat stres, otak akan mencatat: “Stres = makan.” Kebiasaan terbentuk bukan karena sadar, tapi karena pola yang berulang.
Solusinya bukan menghilangkan stres, tapi mengganti respons otomatisnya. Misal, ganti ngemil dengan berjalan kaki lima menit. Kuncinya bukan melawan, tapi mengganti.
2. Kebiasaan menempel pada pemicu situasional
Pikiranmu terkondisi oleh tempat, waktu, dan emosi tertentu. Duduk di sofa = nonton TV. Masuk kamar = buka HP. Otak membuat asosiasi berdasarkan pengulangan.
Putuskan dengan mengubah rutinitas kecil. Ubah posisi tempat kerja. Simpan HP di tempat yang susah dijangkau. Sekecil apa pun perubahan, itu bisa mengganggu jalur otomatis yang selama ini terbentuk.
3. Otak menghafal reward, bukan niat
Menurut BJ Fogg dalam Tiny Habits, reward adalah bahan bakar utama terbentuknya kebiasaan. Kalau kamu merasa senang setelah melakukan sesuatu, otak akan menandainya sebagai “hal baik”.
Itulah kenapa nonton reels lebih menggoda daripada baca buku. Reels kasih dopamine cepat, buku butuh proses.
Cara keluar? Beri reward kecil untuk kebiasaan baik. Misal: setelah baca 5 halaman, kamu boleh nonton 1 video lucu. Lama-lama otakmu akan belajar bahwa disiplin juga bisa menyenangkan.
4. Otak benci kekosongan
Seringkali kita melakukan kebiasaan buruk karena gak tahu mau ngapain. Otak akan mengisi kekosongan itu dengan apapun yang instan dan tersedia. Scroll medsos, ngemil, stalking mantan.
Solusinya bukan larangannya, tapi kesadaran mengisi waktu. Siapkan daftar “alternatif sehat”: baca ringkasan buku, journaling 5 menit, stretching ringan. Jangan biarkan otak mengisi kekosongan dengan default yang merusak.
5. Otak malas berpikir ulang
Begitu otak mengenali pola, ia enggan mengevaluasinya lagi. Inilah kenapa kebiasaan buruk bisa terasa “nyaman”, walau secara logika kita tahu itu merusak.
Triknya adalah memaksa evaluasi lewat pertanyaan harian: “Kenapa tadi aku melakukan itu?” atau “Apa dampaknya buat diriku minggu depan?” Kebiasaan bertanya bisa membongkar autopilot dan mengaktifkan kesadaran kembali.
Otak tidak membedakan kebiasaan baik atau buruk. Ia hanya mencetak pola. Dan kabar baiknya: semua pola bisa dibongkar, selama kamu cukup sadar untuk tidak mengikuti jalan yang sama setiap hari.
Dari lima hal di atas, mana yang paling sering kamu alami? Ceritakan versimu di kolom komentar dan bagikan tulisan ini ke orang yang kelihatan ‘niat’ tapi tetap scroll HP tiga jam setiap malam. Bisa jadi dia cuma butuh ganti pola, bukan ganti niat.
Note : Artikel hasil Copas dari Logika filsuf
sedangkan berikut dari lain sumber :
Otak hanya mewakili 2 persen dari berat badan manusia, tetapi mengonsumsi hampir 20 persen dari seluruh energi tubuh. Itu artinya, kualitas berpikir sangat rentan terhadap kebiasaan kecil yang menguras fokus, menumpuk stres, dan menurunkan efisiensi sistem saraf.
Kita sering menyalahkan kesibukan, usia, atau kurang kopi saat pikiran terasa lambat. Tapi kalau jujur, banyak “kebocoran kognitif” yang sumbernya justru datang dari kebiasaan harian yang tidak kita sadari.
Mulai dari kebiasaan scrolling berlebihan, tidur larut, multitasking terus-menerus, sampai asupan informasi yang tak pernah disaring. Semua itu secara perlahan, tapi konsisten, menyabotase kapasitas otak untuk fokus, mengambil keputusan, dan berpikir jernih.
Berikut ini adalah lima kebiasaan yang diam-diam menggerogoti kinerja otakmu. Dan ironisnya, sebagian besar dilakukan dalam keadaan sadar tapi tak peduli.
1. Multitasking: Merasa produktif, padahal bikin otak kacau
Daniel J. Levitin dalam bukunya The Organized Mind menegaskan bahwa multitasking bukan tanda kecerdasan, tapi bentuk pemborosan mental. Otak sebenarnya tidak bisa fokus pada dua hal sekaligus. Yang terjadi adalah switching cost. Energi otak habis karena terus lompat dari satu tugas ke tugas lain.
Contoh paling umum: sambil kerja buka tab YouTube, cek WhatsApp, lalu balik lagi ke dokumen. Setiap kali kamu berpindah konteks, butuh waktu 23 menit untuk kembali ke fokus penuh. Itulah kenapa kamu kerja 3 jam tapi hasilnya cuma setengah jam kerja efektif.
2. Kurang tidur: Merusak sistem konsolidasi memori
Matthew Walker, dalam Why We Sleep, menyebut tidur sebagai ‘sistem perbaikan otomatis’ otak. Saat kamu tidur, otak merapikan informasi yang kamu dapat seharian dan menyimpannya ke memori jangka panjang. Kurang tidur membuat proses itu gagal. Akibatnya, kamu mudah lupa, emosional, dan lambat berpikir.
Bukan hanya itu. Kurang tidur juga memperlambat kerja prefrontal cortex, bagian otak yang bertugas untuk berpikir logis dan membuat keputusan. Jadi, tidur bukan malas. Tidur adalah kebutuhan kognitif.
3. Terlalu sering mengecek notifikasi
Cal Newport dalam Digital Minimalism menyebut kebiasaan mengecek ponsel setiap beberapa menit sebagai bentuk adiksi ringan terhadap “intermittent rewards”. Notifikasi kecil memberi sensasi dopamin cepat, tapi juga membangun toleransi.
Masalahnya, setiap notifikasi memutus alur berpikir mendalam yang dibutuhkan otak untuk menyelesaikan tugas kompleks. Akhirnya kamu jadi pelupa, gelisah, dan gak bisa tahan lama mengerjakan sesuatu tanpa distraksi.
4. Konsumsi informasi tanpa filter
John Medina dalam Brain Rules menulis bahwa otak menyukai informasi, tapi membencinya dalam jumlah berlebihan. Terlalu banyak input tanpa struktur menyebabkan otak bingung menentukan prioritas. Inilah yang disebut sebagai decision fatigue.
Setiap kali kamu membuka media sosial, menonton berita, atau mendengar gosip tanpa sadar, kamu memaksa otak menyortir informasi yang sebenarnya tidak penting. Lama-lama otakmu lelah, bahkan sebelum kamu mulai kerja yang sesungguhnya.
5. Kebiasaan self-talk negatif yang berulang
Anna Lembke dalam Dopamine Nation menjelaskan bahwa stres emosional kronis bisa memicu penurunan fungsi prefrontal cortex dan memperkuat amygdala, pusat ketakutan otak. Salah satu penyebab utama adalah self-talk negatif yang dibiarkan terus menerus.
Kalimat seperti “aku bodoh”, “aku selalu gagal”, atau “aku pasti salah” meskipun cuma dalam hati, adalah pesan yang terus dicatat oleh otak. Lama-lama, kamu membentuk kepercayaan diri yang salah, dan itu merusak cara berpikirmu.
Kalau kamu merasa otakmu akhir-akhir ini mudah lelah, tidak fokus, dan kurang tajam, mungkin bukan karena kamu kurang pintar. Bisa jadi, kamu sedang mengabaikan satu atau lebih dari lima kebiasaan di atas.
Sekarang waktunya kamu evaluasi. Dari kelima hal itu, mana yang paling sering kamu lakukan diam-diam?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Buka terus info, ambil artikel bermanfaat,sebarkan ke semua orang,
Untuk mencari artikel yang lain, masuk ke versi web di bawah artikel, ketik judul yang dicari pada kolom "Cari Blog di sini " lalu enter