Orang tua sering yakin bahwa apa yang mereka lakukan untuk anak sudah benar. Namun, banyak kebiasaan kecil yang tanpa disadari justru merusak perkembangan emosional, mental, bahkan moral anak. Ironisnya, niat baik terkadang menjadi racun dalam jangka panjang.
Fakta menariknya, dalam The Drama of the Gifted Child karya Alice Miller, dijelaskan bahwa anak-anak yang tumbuh dengan “kasih sayang penuh syarat” seringkali menjadi dewasa yang terjebak dalam kebutuhan untuk selalu menyenangkan orang lain, bahkan mengorbankan diri sendiri. Artinya, apa yang tampak sebagai kebiasaan wajar bisa menanam luka batin yang mendalam.
Maka mari kita bedah tujuh kebiasaan orang tua yang diam-diam merusak anak, dengan mengaitkannya pada kajian para ahli, lalu menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari kita.
1. Selalu Membandingkan Anak dengan Orang Lain
Dalam Parenting from the Inside Out karya Daniel J. Siegel, dijelaskan bahwa membandingkan anak memicu perasaan rendah diri yang menetap. Anak yang selalu disandingkan dengan “si A yang lebih pintar” atau “si B yang lebih rajin” akhirnya tidak belajar menghargai keunikan dirinya.
Di rumah, kalimat sederhana seperti “Lihat tuh kakakmu lebih rajin belajar” terdengar biasa. Namun efeknya, anak merasa cinta orang tua bersyarat pada prestasi, bukan pada dirinya. Perasaan ini bisa tumbuh menjadi luka psikologis jangka panjang, yang seringkali baru disadari setelah dewasa ketika anak sulit membangun hubungan sehat.
Menghargai keunikan anak sebetulnya lebih membangun daripada memacu lewat perbandingan. Anak butuh validasi bahwa dirinya cukup, bukan dorongan yang dibungkus kompetisi semu.
2. Memberi Kasih Sayang yang Bersyarat
Carol Dweck dalam bukunya Mindset menunjukkan bahwa anak yang menerima cinta bersyarat hanya ketika berprestasi akan mengembangkan fixed mindset. Mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa nilai dirinya hanya setinggi prestasi yang ia capai.
Contoh sederhana terjadi ketika anak pulang dengan nilai buruk. Alih-alih mendukung, orang tua berkata “Mama sayang kamu kalau kamu rajin belajar.” Anak mendengar pesan bahwa kasih sayang bisa dicabut kapan saja. Hal ini melahirkan anak yang tumbuh penuh kecemasan, takut gagal, dan selalu mencari pengakuan eksternal.
Kasih sayang seharusnya menjadi fondasi tanpa syarat, karena dari situlah anak belajar mengenal arti cinta yang sesungguhnya.
3. Melabeli Anak dengan Sebutan Negatif
Dalam The Whole-Brain Child karya Daniel Siegel dan Tina Payne Bryson, label seperti “nakal”, “pemalas”, atau “bandel” membentuk pola pikir internal anak. Ia bukan lagi melihat perilaku yang keliru, melainkan identitas dirinya yang buruk.
Seorang anak yang sering disebut pemalas bisa mulai percaya bahwa ia memang malas, meski sesungguhnya ia hanya lelah atau butuh bimbingan. Label itu menempel dalam memori jangka panjang dan memengaruhi cara ia menilai diri sendiri.
Mengganti label dengan deskripsi perilaku membantu anak belajar tanggung jawab tanpa kehilangan harga dirinya. Kritik bisa diarahkan pada tindakan, bukan pada identitas.
4. Mengontrol Berlebihan dengan Dalih Melindungi
Dalam Hold On to Your Kids karya Gordon Neufeld dan Gabor Maté, dijelaskan bahwa kontrol berlebihan justru mendorong anak menjauh dari orang tua. Alih-alih membangun kedekatan, anak mencari otonomi di luar, yang kadang justru berisiko negatif.
Contoh sehari-hari terlihat ketika orang tua selalu memutuskan semua hal untuk anak, mulai dari pakaian hingga hobi. Anak tidak pernah belajar mengambil keputusan, apalagi menanggung konsekuensi. Lama-kelamaan ia bisa kehilangan kepercayaan diri, bahkan memberontak ketika kesempatan mandiri muncul.
Di titik inilah kita bisa memahami, bahwa kedekatan sejati tidak tumbuh dari kontrol, melainkan dari kepercayaan yang diberi ruang. Dan di ruang-ruang refleksi seperti yang sering saya ulas di LogikaFilsuf, kita bisa menemukan konten eksklusif tentang bagaimana kepercayaan membentuk karakter anak secara lebih mendalam.
5. Mengabaikan Perasaan Anak
John Gottman dalam Raising an Emotionally Intelligent Child menjelaskan bahwa orang tua sering meremehkan perasaan anak dengan ucapan “Ah, itu sepele” atau “Jangan cengeng.” Padahal, anak sedang belajar mengenali dan mengelola emosinya.
Ketika anak menangis karena mainannya rusak, orang tua yang langsung berkata “Masa begitu aja nangis” tanpa sadar mengajarkan bahwa emosinya tidak valid. Akibatnya, anak kesulitan mengekspresikan diri dengan sehat, bahkan terbiasa menekan emosi.
Mengakui perasaan anak, meski tampak sepele, membantu mereka memahami bahwa emosi adalah bagian alami dari hidup yang bisa diolah, bukan disangkal.
6. Menggunakan Hukuman Fisik atau Verbal Kasar
Dalam No-Drama Discipline karya Daniel J. Siegel dan Tina Payne Bryson, dijelaskan bahwa hukuman keras tidak menumbuhkan disiplin, melainkan rasa takut. Anak belajar menghindari perilaku hanya untuk lolos dari hukuman, bukan karena memahami nilai moral di baliknya.
Contoh sederhana, anak yang dipukul karena berbohong mungkin berhenti berbohong di depan orang tua, tetapi tetap melakukannya diam-diam. Hukuman keras membangun tembok, bukan jembatan komunikasi.
Pendekatan disiplin yang penuh empati justru membekas lebih dalam, karena anak belajar bahwa kesalahan adalah kesempatan memahami nilai, bukan hanya menebus rasa sakit.
7. Menekan Anak untuk Selalu Sukses
Dalam The Price of Privilege karya Madeline Levine, anak yang tumbuh dengan tuntutan untuk selalu sukses seringkali tampak baik-baik saja dari luar, tetapi rapuh di dalam. Mereka merasa dicintai hanya ketika berhasil.
Kita bisa melihatnya pada anak yang mengikuti kursus tanpa henti, ditekan untuk ranking satu, hingga kehilangan waktu bermain. Akibatnya, anak tumbuh dengan rasa hampa, karena kebahagiaannya ditukar dengan pencapaian yang membebani.
Mendidik anak memang penting, tetapi ketika tuntutan menyingkirkan kebahagiaan, yang tersisa hanyalah anak-anak yang kehilangan jati dirinya.
Mengasuh anak bukan sekadar memberi makan dan pendidikan formal. Kebiasaan kecil yang tampak remeh bisa berdampak besar bagi jiwa anak. Maka, sudah saatnya kita mengkritisi diri, apakah kebiasaan kita selama ini membangun atau justru merusak.
Menurutmu, kebiasaan orang tua mana yang paling sering terjadi di sekitar kita? Yuk bagikan pendapatmu di kolom komentar dan jangan lupa share agar lebih banyak orang tua bisa belajar dari sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Buka terus info, ambil artikel bermanfaat,sebarkan ke semua orang,
Untuk mencari artikel yang lain, masuk ke versi web di bawah artikel, ketik judul yang dicari pada kolom "Cari Blog di sini " lalu enter