SISTEM PENDIDIKAN KITA HARUS BELAJAR DARI KEGAGALAN TIMNAS INDONESIA
Ulasan oleh : Bp.Supri H.S
Kita semua ingat malam itu. Malam ketika harapan jutaan pasang mata harus kandas di lapangan. Bukan hanya karena kalah, tapi karena kita tahu, jauh di lubuk hati, kita gagal karena hal yang sama sekali lagi: FONDASI YANG TIDAK DIBIARKAN MENGERAS.
Lihatlah bagaimana sepak bola timnas kita. Setiap sebentar PSSI sebagai pemegang otoritas menggonta-ganti pelatih. Setiap pelatih membawa instruksi, filosofi dan taktik bermain yang berbeda-beda . Belum sempat para pemain benar-benar mencerna dan menghayati sistem formasi 4-4-2, datang instruksi baru yang mendadak menuntut 3-5-2, tak lama kemudian datang lagi pelatih yang mengusung formasi 4-3-3.
Apa hasilnya? Kekacauan. Pemain menjadi bimbang. Mereka memiliki teknik, mereka punya semangat, tapi di lapangan, mereka kehilangan identitas permainan. Kebijakan yang labil ini menghasilkan tim yang gagap, terengah-engah mengejar mimpi di tengah derasnya kompetisi global.
Bukankah ini cerminan nyata dari pendidikan kita?
Setiap pergantian Menteri, seolah-olah, berarti lonceng kematian bagi kurikulum dan kebijakan yang lama. Kurikulum di Indonesia ibarat pondasi rumah yang selalu dibongkar-pasang sebelum sempat mengering.
Ketika satu generasi guru mulai nyaman dengan KTSP (sebagai "pelatih" mereka), tiba-tiba datang Kurikulum 2013 dengan segala tetek bengek administrasi yang baru. Belum genap lima tahun kurikulum itu diterapkan secara merata, lalu dikejutkan lagi dengan Kurikulum Merdeka, yang menuntut filosofi yang benar-benar berbeda.
Kita meminta para Guru—para "pemain" dan "pelatih" di garis depan—untuk terus berlatih, beradaptasi, bahkan berlari kencang. Namun, bagaimana mungkin sebuah bangunan pendidikan bisa berdiri kokoh jika fondasi filosofi dan tujuan dasarnya terus-menerus digali, diuruk, lalu ditanam ulang?
Siswa adalah "lapangan bermain" kita, dan guru adalah "arsitek" utamanya. Jika arsitek terus berganti desain setiap tahun, anak-anak kita akan menjadi generasi yang ragu, generasi yang hanya mahir beradaptasi di permukaan, tanpa sempat mendalami esensi. Mereka akan lulus dengan ijazah, namun tanpa kedalaman karakter dan kompetensi yang sesungguhnya.
Kegagalan Timnas ke Piala Dunia 2026 terasa begitu perih karena kita tahu, talenta kita ada. Sumber daya kita melimpah. Yang kurang adalah kesabaran dan komitmen jangka panjang terhadap satu visi.
Semua pecinta Timnas pasti tahu, bahwa pelatih asal korea Selatan bernama Shin Tae Yong telah membangun pondasi tim kita dengan baik. Hampir saja menjadi sebuah Pondasi kokoh tiada lawan. setara dengan kekuatan negara-negara sepakbola lainnya di Asia. Ia berhasil meramu tim dengan memadukan pemain-pemain berbakat anak bangsa, baik yang lahir di Indonesia maupun diaspora.
Tapi kemudian kepemimpinan PSSI berganti. Lewat pemimpin yang baru bernama Erik Tohir, pelatih hebat itu diganti. Dan pondasi yang ia bangun di acak-acak lagi. Sebelum pondasi itu sempat mengering untuk menjadi benar-benar kokoh. Sehingga berujung pada kegagalan melaju ke piala dunia yang padahal tinggal berjarak setipis tisu.
Sama seperti pendidikan.
Kita memiliki guru-guru yang berdedikasi tinggi, para pahlawan yang rela mengorbankan waktu dan harta. Kita punya jutaan anak berbakat. Tapi, kebijakan yang berayun-ayun ini telah mematahkan semangat mereka. Guru menjadi lelah dan bingung, bertanya, "Sampai kapan kami harus merombak rencana ajar kami lagi?"
Jika kita ingin melihat bendera Merah Putih berkibar di Piala Dunia—baik di lapangan hijau maupun di panggung ilmu pengetahuan dunia—maka kita harus berhenti memperlakukan kebijakan pendidikan sebagai gimmick politik.
Biarkan fondasinya mengeras. Beri waktu bagi kurikulum untuk berakar. Biarkan para guru bekerja dengan satu visi yang stabil, tanpa ketakutan bahwa esok hari, seluruh cetak biru masa depan mereka akan diubah total lagi.
Jika tidak, air mata kegagalan di ruang kelas akan terus mengalir, sama pahitnya dengan air mata di rumput hijau tentang kandasnya mimpi ke Piala Dunia, Dan kita hanya akan menjadi bangsa yang kaya akan potensi, namun miskin dalam realisasi.
Sampai kiamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Buka terus info, ambil artikel bermanfaat,sebarkan ke semua orang,
Untuk mencari artikel yang lain, masuk ke versi web di bawah artikel, ketik judul yang dicari pada kolom "Cari Blog di sini " lalu enter