Agustus 27, 2025

BERITA VIRAL PERCERAIAN PRATAMA ARHAN MENDAPAT DUKUNGAN NETIZEN

Pratama Arhan semua masyarakat Indonesia mengetahuinya, salah satu pemain sepak bola nasional kelahiran Blora, Jawa Tengah ini memang memiliki spesiailsasi lemparan ke dalam yang maut, dan tidak jarang membuat kerepotan pertahanan lawan bahkan bisa menjadi sebuah skema terjebolnya gawang lawan
Note : Gambar diambil dari acun IG Pratama Arhan 

Anak dari desa bertalenta dalam mengolah bola dan perposisi sebagai bek kiri ini,memilki gaya penampilan yang kalem, ganteng tentu banyak cewek yang ngiler, bahkan saat dinikahkan dengan Azizah atau terkenal dengan sapaan Zize putri dari Adre Rosiade anggota DPR RI pada tanggal 20 Agustus 2023 awalnya banyak yang mendoakanya, akan tetapi seiring berjalanya waktu para penggemar sepak bola tanah air mulai meragukan kelanggengan pernikahan tersebut itu ditengok dari sikap sang istri terhadap Pratama Arhan ,mereka membaca sepertinya cinta Arhan bertepuk sebelah tangan, ditambah isu-isu miring tentang yang beredar di mas medis online tentang perilaku sang istri.
Waktu demi waktu rupanya Pratama Arhan sudah tidak tahan dan tidak ada kecocokan, sehingga melayangkan gugatan cerai terhadap Azizah pada tanggal 1 Agustus 2025 jadi pernikahanya baru berjalan 2 tahun, ke Pengadilan Agama Tigaraksa dan telah diputuskan pada tanggal 25 Agustus 2025, meskipun tergugat masih diberi kesempatan pembelaan dalam kurun 14 hari, tentunya perceraian ini membuat kaget kebanyakan orang, akan tetapi mayoritas pecinta sepakbola nasional mendukungnya, mereka justru merasa lega, memberi support untuk Pratama Arhan, apabila anda mengikuti komen-komen di chanel-chanel youtube, Instagram, X dll semua mendukung positif, ada yang memberi komentar Pratama Arhan tepat dalam mengambil keputusan meskipun dinilai  terlambat mungkin dia mencoba memberikan kesempatan kepada sang istri barangkali bisa merubah sikap dan sifat, mayoritas netizen mereka mendoakan semoga Pratama Arhan  mendapat ganti wanita Solehah,taat kepada suami, bahkan banyak sekali cewek yang menawarkan diri untuk menjadi pengganti dan berjanji akan setia....
ini menunjukan bahwa Pratama Arhan dikenal pria yang baik, berbakat dan tentu saja memilki keistimewaan, sehingga mereka menyemangati bahkan ada komentar dari netizen pria yang menyatakan bahwa gadis-gadis seluruh Indonesia mengantrimu, ayo semangat , fokuslah ke prestasi sepakbola ..akan datang waktunya pendamping hidupmu yang setia...
Pratama Arhan masih muda, perjalanan masih panjang, diharapkan pengalaman hidupnya bisa menjadi semakin dewasa dan matang, bisa meningkatkan performa sehingga bisa kembali bergabung dengan Timnas.

#sepakbola
#Pratama Arhan
#Azizah salsha
#Timnas
#Berita perceraian Pratama Arhan
#viral



Agustus 25, 2025

CARA TES DAN MENDIDIK KEJUJURAN SISWA ALA AWAN GUNAWAN

Artikel dari copas pengalaman guru Awan Gunawan :
Dulu waktu masih ngajar di SMA, tiap gue ngadain ulangan di kelas gue bilang gini ke murid2. "Silahkan kerjakan soal2 yang saya kasih dengan jujur ya kids, coz saya gak akan mengawasi kalian. Waktunya satu jam, dannn, dimulai dari sekarang." Abis itu gue langsung ninggalin kelas menuju perpus.

Satu jam kemudian, gue balik ke kelas dan meminta murid2 buat mengecek jawaban di kertas ulangan mereka sendiri. Kertas ulangannya gratis ya gaes bukan selembar poto kopian yang setiap siswa harus bayar dua ribu, padahal modal poto kopi cuman dua ratus. Gue yang bacain jawabannya, mereka yang mengecek sendiri bener atau salahnya. Kemudian, mereka sendiri juga yang ngasih nilai atas hasil ulangannya.

Kelar itu semua, gue meminta murid2 buat mengumpulkan lembar ulangan di meja gue. Dan setelah semuanya terkumpul gue bilang pada mereka, bahwa yang barusan ngerjain ulangannya dengan cara gak jujur, gue tunggu di ruang guru. Sebagian murid langsung terlihat gelisah, sementara gue keluar dari kelas menuju ruang guru, lalu menunggu siapa2 aja yang bakal dateng menghadap gue. Karena jujurly, sebenernya gue sama sekali gak tau murid mana yang gak ngerjain ulangan dengan jujur selama gue tinggal tadi.

Sepuluh menit kemudian, lima orang murid dateng menghadap di ruang guru. Tiga cowok, dua cewek. Mereka minta maap ke gue, karena waktu ulangan ternyata nyontek dan bekerjasama.

Gue bertanya ke salah satu murid cewek, kenapa dia ngelakuin itu. Dia menjawab, "saya takut diomelin orang tua saya Kak, kalo dapet nilai jelek." 

"Kalo kamu?" tanya gue ke salah satu murid yang cowok.

"Sama Kak," jawabnya.

Gue membetulkan posisi duduk gue, lalu bilang gini ke mereka. "Kids, kalo orang tua kalian tau nilai ulangan kalian jelek, mungkin mereka akan marah. Tapi percaya sama saya, mereka bakal lebih marah, bahkan sedih, kalo tau anaknya gak jujur."

Kelima murid gue tertunduk.

"Kalian mungkin dapet nilai yang bagus dari menyontek, dan bikin orang tua bangga. Tapi, nilai yang kalian dapet adalah nilai yang haram, yang nantinya dari nilai haram ini akan jadi raport, jadi ijazah, dan dengan ijazah itu, kalian akan kuliah, kerja, lalu punya penghasilan kids. Punya uang. Yang mungkin uang itu akan kalian berikan ke orang tua. Terus, apa kalian tega ngasih uang yang diperoleh dengan cara kek gitu ke orang tua yang udah sayang banget sama kalian?" tanya gue.

Aer mata mulai mengalir dari sudut mata murid2. Bahkan ada yang dari telinga.

"Apa mereka akan bangga?" tanya gue lagi.

Sebagian murid mulai terisak. Sebagian lagi kejang2 dan keluar busa dari mulutnya.

"Ya. Mereka akan bangga sama kalian kids. Karena kalian adalah anak2 yang jujur, dan berani mengakui kesalahan. So, selamat ya, kalian hebat," kata gue sambil tersenyum.

Salah seorang murid tiba2 langsung menghampiri gue dan sungkem. "Maapin saya Kakkk. Saya janji bakalan jadi orang jujur kek yang Kakak bilanggg."

Murid2 yang laen mengikuti. "Maapin saya ya Kakkk..." Suasana jadi kek lagi lebaran. Hampir aja mereka gue kasih angpaw.

"Iya iya iya, gakpapa. Yang penting jangan diulangi ya," kata gue sok bijak.

"Baik Kak," jawab mereka sambil menghapus aer matanya pake kanebo.

"Terus nilai ulangan kita gimana Kak?" tanya salah satu murid cewek, dengan wajah yang kembali ceria.

"YA ENOL!" jawab gue singkat.

"HUAAAAAAAAA!" murid2 langsung pada kejer lagi wkwkwk!

...

Waktu gue diminta buat ngisi seminar pendidikan terhadap anak oleh panitia khilaf, yang dihadiri oleh guru2 PAUD dan guru2 SMA, gue kaget banget karena ternyata beberapa dari pesertanya adalah murid gue yang udah jadi guru. 

"Kak, dulu saya murid Kakak loh waktu di SMA," katanya. Dalem hati gue, "lah, serius dulunya murid gue? Kok muka kita kek sepantaran sih wkwkwk?!" Awet muda banget ya gue wkwkwk!

Di acara itu sekelar memaparkan materi, moderator bertanya ke gue tentang gimana caranya biar anak2 bisa deket sama orang tuanya, dan mao cerita soal apapun ke orang tuanya. "Karena anak sekarang kan lebih seneng maen hape ya Bang," lanjutnya.

Lalu gue jawab, "mmm, gue ini kan bisa dibilang seleb pesbuk ya, yang keknya wajar banget deh kalo seharian maen hape karena banyak konten yang harus diposting dan banyak komen yang harus dibalesin. Tapi kalo lagi sama anak2, ya gue gak maen hape. Diri gue full buat mereka yang lagi bersama gue. Karena, gue gak mao menyia2kan kebersamaan yang singkat ini cuma demi hape. Gue ceritain apa yang lagi gue rasa ke mereka, gue mintai mereka pendapat soal apa yang baiknya gue lakuin, sehingga mereka pun begitu ke gue. Kalo guenya ngedeket, anak2 pun ngedeket. Kalo guenya cerita, anak2 pun cerita. Dan kalo gue menyontohkan, anak2 pun melakukan."

...

Sejatinya, kita semua adalah guru bagi anak2 kita di rumah. Karena apapun yang kita lakukan akan digugu dan ditiru oleh mereka. So prinsip gue, kalo gue pengen ngeliat bangsa ini lebih baik ke depannya, dipimpin oleh orang2 jujur profesional dan punya empati terhadap rakyatnya, maka gue bisa memulainya, dari diri gue sendiri. 

Ah, jadi kangen ngajar di kelas lagi. Tapi udah terlanjur jadi artis wkwkwk!

Demikian, gue Bret Pitt.

#pacorstory
#alhamdulillah
Hari ini terakhir promo Piyuy Honey Lemon paket hemat 99K dan 199K, semoga gak keabisan 👉wa.me/6281818180855.

AL QUR'AN ADALAH KABENARAN

ULASAN AL QUR'AN 

KATANYA KITAB KUNO, TAPI ISINYA MELAMPAUI ZAMAN:

Kamu kira Al-Qur’an cuma kitab doa? Salah besar! Dari dulu udah kasih clue soal alam semesta, jauh sebelum ilmuwan pakai teleskop mahal. Big Bang? Qur’an udah bilang bumi dan langit dulu nyatu, terus dipisahin. Lah, sains baru tau ribuan tahun kemudian. Jadi siapa duluan, hah? Jangan sok pintar kalau Qur’an udah kasih spoiler!

Mau bukti lain? Nih, Qur’an bilang alam semesta itu meluas. Kamu kira cuma NASA yang tau? Ayat itu udah turun ribuan tahun lalu. Sementara orang dulu masih mikir bumi datar, Qur’an udah ngomong soal ekspansi kosmos. Jadi yang bilang Qur’an ketinggalan zaman, jelas salah alamat. Justru sains yang ngejar Qur’an, bukan sebaliknya!

Eh tunggu, masih ada lagi. Qur’an bilang matahari, bulan, semua punya orbit. Bukan diem kayak lampu tempel di langit! Dan bener aja, astronomi modern bilang planet, bintang, semuanya muter sesuai jalur. Jadi, jangan remehkan. Qur’an itu bukan buku dongeng, tapi peta realita semesta. Kalau kamu nggak percaya, mending belajar lagi deh.

Gunung? Qur’an sebut kayak pasak. Dulu orang mikir itu cuma kiasan. Eh ternyata geologi bilang, gunung punya akar dalam yang bikin bumi stabil. Lah, gimana Qur’an bisa tau detail kayak gitu kalau bukan wahyu? Coba kamu jawab! Jangan-jangan sains sekarang cuma ngebuktiin apa yang Qur’an udah kasih tau ribuan tahun lalu.

Dan yang paling epic: Qur’an bilang semua makhluk hidup asalnya dari air. Biologi modern setuju! Air jadi pondasi kehidupan. Jadi, siapa duluan nemuin? Qur’an atau lab riset? Udah jelas kan, Qur’an selalu selangkah di depan. Jadi masih mau bilang ini kebetulan? Atau kamu berani bilang Qur’an kalah sama teori-teori buatan manusia?

🔥 Kalau kamu berani, coba bantah. Kalau nggak bisa, ya akui aja: Qur’an itu petunjuk yang melampaui zaman.

Agustus 24, 2025

CARA MEMBUAT ANAK CERDAS, ULASAN OLEH LOGIKA FILSUF

Anak adalah hasil buah cinta, dan menjadi banggan bagi orang tua apabila berhasil dalam pendidikan maupun kebaikan akhlaknya.
berikut tip ulasan dari acun fb Logika filsuf,bagaimana menjadikan anak cerdas : 

Banyak orang tua salah paham: kecerdasan anak bukan ditentukan dari banyaknya les tambahan, melainkan dari kebiasaan sederhana yang mereka lakukan sejak pagi hari.

Dalam buku Brain Rules for Baby karya John Medina, dijelaskan bahwa rutinitas kecil yang konsisten di pagi hari mampu meningkatkan fokus, kreativitas, bahkan regulasi emosi anak. Artinya, cara anak memulai hari akan berpengaruh langsung pada kualitas otaknya sepanjang hidup.

Anak-anak kerap meniru pola hidup orang tuanya. Jika pagi mereka dipenuhi dengan tergesa-gesa, amarah, atau distraksi gadget, otak mereka belajar pola stres yang sama. Sebaliknya, jika pagi dimulai dengan kebiasaan sehat, otak mereka terlatih untuk lebih tenang, teratur, dan terbuka pada pembelajaran. Pertanyaannya, apa saja kebiasaan sederhana yang bisa menumbuhkan kecerdasan sejak pagi?

1. Tidur yang cukup sebelum bangun pagi

Menurut The Sleep Revolution karya Arianna Huffington, tidur adalah fondasi utama bagi perkembangan otak. Anak yang kurang tidur lebih sulit berkonsentrasi, mudah tantrum, dan cenderung kesulitan menyerap informasi baru. Ini bukan sekadar soal jam tidur, melainkan kualitas tidur yang ditentukan dari rutinitas malam sebelumnya.

Banyak anak yang terbiasa begadang karena orang tua sibuk dengan gawai atau televisi. Akibatnya, pagi hari mereka dimulai dengan rasa malas dan otak yang belum siap bekerja. Jika otak dipaksa belajar dalam kondisi ini, hasilnya jauh dari optimal. Anak yang terbiasa tidur cukup justru bangun lebih segar, lebih ceria, dan lebih mudah menerima stimulasi baru.

Cara paling sederhana adalah membuat rutinitas tidur yang konsisten. Alih-alih membiarkan anak mengantuk di depan layar, biasakan ritual tenang sebelum tidur. Dengan begitu, pagi mereka dimulai dengan energi penuh yang secara langsung meningkatkan kapasitas kognitif.

2. Sarapan bernutrisi

Dalam Mind, Brain, and Education Science karya Tracey Tokuhama-Espinosa, dijelaskan bahwa sarapan berperan penting dalam menjaga kestabilan gula darah yang memengaruhi fokus dan daya ingat. Anak yang sarapan sehat terbukti memiliki kemampuan akademik yang lebih baik.

Namun di banyak keluarga, sarapan sering diabaikan atau diganti dengan makanan instan. Anak mungkin merasa kenyang, tetapi otaknya tidak mendapat bahan bakar yang tepat. Hasilnya, mereka lebih cepat lelah, sulit konsentrasi, dan mudah tergoda distraksi.

Sarapan bukan berarti harus mewah. Roti gandum, buah, atau telur sudah cukup memberi energi seimbang. Kebiasaan sederhana ini membuat anak terbiasa menghargai tubuh dan pikirannya sejak pagi.

3. Membaca sebentar sebelum beraktivitas

Menurut The Read-Aloud Handbook karya Jim Trelease, membaca di pagi hari meski hanya sepuluh menit dapat merangsang imajinasi dan memperluas kosakata anak. Otak mereka seperti dipanaskan sebelum menghadapi pelajaran di sekolah.

Banyak orang tua hanya membacakan cerita malam hari, padahal pagi bisa jadi momen emas. Saat otak masih segar, anak lebih mudah menangkap nuansa bahasa dan ide-ide baru. Bahkan satu halaman cerita bisa memicu diskusi kritis sepanjang hari.

Membaca pagi bukan sekadar menambah wawasan, tetapi juga membangun kedekatan emosional. Di sela rutinitas ini, orang tua bisa menyelipkan nilai dan logika sederhana yang nantinya memperkuat cara berpikir anak.

4. Olahraga ringan atau peregangan

Dalam Spark: The Revolutionary New Science of Exercise and the Brain karya John J. Ratey, terbukti bahwa aktivitas fisik meningkatkan suplai oksigen ke otak, menumbuhkan neuron baru, dan memperbaiki suasana hati.

Anak yang berangkat sekolah setelah duduk diam cenderung lesu, sementara anak yang sempat bergerak lebih aktif dan ceria. Tidak perlu olahraga berat, bahkan berjalan kaki atau peregangan ringan sudah cukup memberi efek positif.

Selain menyehatkan tubuh, kebiasaan ini melatih anak mengenali ritme tubuhnya. Mereka belajar bahwa otak yang sehat tidak bisa dipisahkan dari tubuh yang bugar.

5. Berbicara tentang rencana hari itu

Dalam How Children Succeed karya Paul Tough, komunikasi sehari-hari terbukti meningkatkan grit, rasa percaya diri, dan pemahaman anak tentang tujuan. Menyusun rencana kecil di pagi hari membantu mereka mengembangkan pemikiran strategis.

Anak yang terbiasa mendengar “Hari ini kita mau apa?” belajar memproyeksikan diri ke depan. Mereka tidak hanya menjalani rutinitas, tetapi juga memahami makna di baliknya. Ini membentuk kebiasaan refleksi sejak dini.

Selain itu, komunikasi sederhana ini memperkuat ikatan keluarga. Saat anak merasa didengar dan dilibatkan, mereka tumbuh lebih percaya diri menghadapi tantangan hari itu.

6. Membatasi paparan gadget di pagi hari

Dalam Glow Kids karya Nicholas Kardaras, paparan layar berlebihan terbukti mengganggu perkembangan korteks prefrontal, bagian otak yang bertanggung jawab atas konsentrasi dan pengendalian diri. Pagi yang dipenuhi layar justru membuat anak sulit fokus di sekolah.

Banyak orang tua memberi gadget agar anak tenang sarapan atau menunggu berangkat. Padahal, kebiasaan ini melatih otak untuk mencari distraksi sejak pagi. Anak pun lebih mudah bosan ketika tidak ada layar.

Menggantinya dengan interaksi sederhana, membaca, atau sekadar bercakap-cakap, jauh lebih bermanfaat. Anak belajar mengisi waktu dengan hal yang memberi stimulasi nyata pada otak, bukan sekadar hiburan pasif.

7. Melatih rasa syukur sejak pagi

Menurut The Optimistic Child karya Martin Seligman, melatih anak untuk menyebutkan hal-hal yang disyukuri dapat menumbuhkan optimisme dan resiliensi. Ini bukan hanya soal moral, tetapi juga strategi psikologis yang memperkuat kecerdasan emosional.

Anak yang terbiasa bersyukur lebih mudah menghadapi kegagalan, karena mereka belajar melihat sisi positif dari situasi. Pagi hari adalah waktu yang tepat untuk membangun kebiasaan ini.

Cukup dengan mengajak anak menyebutkan tiga hal yang membuatnya bahagia hari itu. Kebiasaan kecil ini menguatkan pola pikir yang sehat, sekaligus membentuk otak yang lebih tahan terhadap stres.

Di akhir pembahasan ini, ada baiknya sesekali Anda membaca konten eksklusif di logikafilsuf. Bukan sekadar tips, melainkan wawasan yang membantu orang tua memahami logika mendidik anak dengan cara yang lebih dalam.

Pada akhirnya, kecerdasan anak tidak lahir dari hal besar, melainkan dari kebiasaan kecil yang konsisten. Lalu bagaimana dengan Anda? Kebiasaan pagi apa yang sudah berjalan di rumah Anda? Tulis di kolom komentar dan bagikan agar lebih banyak orang tua bisa terinspirasi.

TEKNOLOGI ADALAH SKENARIO TUHAN BAGI MANUSIA UNTUK MENGISI NERAKA

Manusia diciptakan sempurna dibanding makhluk hidup lain, dan yang paling mencolok adalah otak manusia dibekali daya fikir untuk melakukan terobosan-terobosan dalam berinovasi. 
Dalam manusia berinovasi tentu saja didasari kemampuan teknologi, yang berasal dari bahasa Yunani yaitu techne dan logos dengan artian secara harfiah adalah seni atau keterampilan dan ilmu, namun secara luas teknologi adalah metode, sistem atau ilmu pengetahuan yang digunakan untuk menciptakan alat, jasa, produk dengan tujuan untuk mempemudah, meringankan pekerjaan, memecahkan masalah sehingga menjadikan meningkatnya kenyamanan manusia.
Dalam kehidupan manusia moderen ternyata teknologi bisa tergolong menjadi dua hal yang berlawanan yaitu ;
1.Postif
2.Negatif.

DAMPAK POSITIF TEKNOLOGI 
Tentu saja teknologi yang positif yang tujuan utamanya untuk mempermudah hal-hal yang mendukung kebutuhan primer maupun sekunder manusia untuk pengadaan pangan,sandang, papan yang merupakan kebutuhan sehari-hari.
sebagai contoh :
Mesin traktor, mesin pembajak sawah, pompa diesel air untuk pertanian,

Ikuti artikel iniasih akan berlanjut

Agustus 21, 2025

CARA ORANG TUA MERUSAK ANAK DALAM MENDIDIK

ARTIKEL DICOPY DARI LOGIKA FILSUF :

Orang tua sering yakin bahwa apa yang mereka lakukan untuk anak sudah benar. Namun, banyak kebiasaan kecil yang tanpa disadari justru merusak perkembangan emosional, mental, bahkan moral anak. Ironisnya, niat baik terkadang menjadi racun dalam jangka panjang.

Fakta menariknya, dalam The Drama of the Gifted Child karya Alice Miller, dijelaskan bahwa anak-anak yang tumbuh dengan “kasih sayang penuh syarat” seringkali menjadi dewasa yang terjebak dalam kebutuhan untuk selalu menyenangkan orang lain, bahkan mengorbankan diri sendiri. Artinya, apa yang tampak sebagai kebiasaan wajar bisa menanam luka batin yang mendalam.

Maka mari kita bedah tujuh kebiasaan orang tua yang diam-diam merusak anak, dengan mengaitkannya pada kajian para ahli, lalu menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari kita.

1. Selalu Membandingkan Anak dengan Orang Lain

Dalam Parenting from the Inside Out karya Daniel J. Siegel, dijelaskan bahwa membandingkan anak memicu perasaan rendah diri yang menetap. Anak yang selalu disandingkan dengan “si A yang lebih pintar” atau “si B yang lebih rajin” akhirnya tidak belajar menghargai keunikan dirinya.

Di rumah, kalimat sederhana seperti “Lihat tuh kakakmu lebih rajin belajar” terdengar biasa. Namun efeknya, anak merasa cinta orang tua bersyarat pada prestasi, bukan pada dirinya. Perasaan ini bisa tumbuh menjadi luka psikologis jangka panjang, yang seringkali baru disadari setelah dewasa ketika anak sulit membangun hubungan sehat.

Menghargai keunikan anak sebetulnya lebih membangun daripada memacu lewat perbandingan. Anak butuh validasi bahwa dirinya cukup, bukan dorongan yang dibungkus kompetisi semu.

2. Memberi Kasih Sayang yang Bersyarat

Carol Dweck dalam bukunya Mindset menunjukkan bahwa anak yang menerima cinta bersyarat hanya ketika berprestasi akan mengembangkan fixed mindset. Mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa nilai dirinya hanya setinggi prestasi yang ia capai.

Contoh sederhana terjadi ketika anak pulang dengan nilai buruk. Alih-alih mendukung, orang tua berkata “Mama sayang kamu kalau kamu rajin belajar.” Anak mendengar pesan bahwa kasih sayang bisa dicabut kapan saja. Hal ini melahirkan anak yang tumbuh penuh kecemasan, takut gagal, dan selalu mencari pengakuan eksternal.

Kasih sayang seharusnya menjadi fondasi tanpa syarat, karena dari situlah anak belajar mengenal arti cinta yang sesungguhnya.

3. Melabeli Anak dengan Sebutan Negatif

Dalam The Whole-Brain Child karya Daniel Siegel dan Tina Payne Bryson, label seperti “nakal”, “pemalas”, atau “bandel” membentuk pola pikir internal anak. Ia bukan lagi melihat perilaku yang keliru, melainkan identitas dirinya yang buruk.

Seorang anak yang sering disebut pemalas bisa mulai percaya bahwa ia memang malas, meski sesungguhnya ia hanya lelah atau butuh bimbingan. Label itu menempel dalam memori jangka panjang dan memengaruhi cara ia menilai diri sendiri.

Mengganti label dengan deskripsi perilaku membantu anak belajar tanggung jawab tanpa kehilangan harga dirinya. Kritik bisa diarahkan pada tindakan, bukan pada identitas.

4. Mengontrol Berlebihan dengan Dalih Melindungi

Dalam Hold On to Your Kids karya Gordon Neufeld dan Gabor Maté, dijelaskan bahwa kontrol berlebihan justru mendorong anak menjauh dari orang tua. Alih-alih membangun kedekatan, anak mencari otonomi di luar, yang kadang justru berisiko negatif.

Contoh sehari-hari terlihat ketika orang tua selalu memutuskan semua hal untuk anak, mulai dari pakaian hingga hobi. Anak tidak pernah belajar mengambil keputusan, apalagi menanggung konsekuensi. Lama-kelamaan ia bisa kehilangan kepercayaan diri, bahkan memberontak ketika kesempatan mandiri muncul.

Di titik inilah kita bisa memahami, bahwa kedekatan sejati tidak tumbuh dari kontrol, melainkan dari kepercayaan yang diberi ruang. Dan di ruang-ruang refleksi seperti yang sering saya ulas di LogikaFilsuf, kita bisa menemukan konten eksklusif tentang bagaimana kepercayaan membentuk karakter anak secara lebih mendalam.

5. Mengabaikan Perasaan Anak

John Gottman dalam Raising an Emotionally Intelligent Child menjelaskan bahwa orang tua sering meremehkan perasaan anak dengan ucapan “Ah, itu sepele” atau “Jangan cengeng.” Padahal, anak sedang belajar mengenali dan mengelola emosinya.

Ketika anak menangis karena mainannya rusak, orang tua yang langsung berkata “Masa begitu aja nangis” tanpa sadar mengajarkan bahwa emosinya tidak valid. Akibatnya, anak kesulitan mengekspresikan diri dengan sehat, bahkan terbiasa menekan emosi.

Mengakui perasaan anak, meski tampak sepele, membantu mereka memahami bahwa emosi adalah bagian alami dari hidup yang bisa diolah, bukan disangkal.

6. Menggunakan Hukuman Fisik atau Verbal Kasar

Dalam No-Drama Discipline karya Daniel J. Siegel dan Tina Payne Bryson, dijelaskan bahwa hukuman keras tidak menumbuhkan disiplin, melainkan rasa takut. Anak belajar menghindari perilaku hanya untuk lolos dari hukuman, bukan karena memahami nilai moral di baliknya.

Contoh sederhana, anak yang dipukul karena berbohong mungkin berhenti berbohong di depan orang tua, tetapi tetap melakukannya diam-diam. Hukuman keras membangun tembok, bukan jembatan komunikasi.

Pendekatan disiplin yang penuh empati justru membekas lebih dalam, karena anak belajar bahwa kesalahan adalah kesempatan memahami nilai, bukan hanya menebus rasa sakit.

7. Menekan Anak untuk Selalu Sukses

Dalam The Price of Privilege karya Madeline Levine, anak yang tumbuh dengan tuntutan untuk selalu sukses seringkali tampak baik-baik saja dari luar, tetapi rapuh di dalam. Mereka merasa dicintai hanya ketika berhasil.

Kita bisa melihatnya pada anak yang mengikuti kursus tanpa henti, ditekan untuk ranking satu, hingga kehilangan waktu bermain. Akibatnya, anak tumbuh dengan rasa hampa, karena kebahagiaannya ditukar dengan pencapaian yang membebani.

Mendidik anak memang penting, tetapi ketika tuntutan menyingkirkan kebahagiaan, yang tersisa hanyalah anak-anak yang kehilangan jati dirinya.

Mengasuh anak bukan sekadar memberi makan dan pendidikan formal. Kebiasaan kecil yang tampak remeh bisa berdampak besar bagi jiwa anak. Maka, sudah saatnya kita mengkritisi diri, apakah kebiasaan kita selama ini membangun atau justru merusak.

Menurutmu, kebiasaan orang tua mana yang paling sering terjadi di sekitar kita? Yuk bagikan pendapatmu di kolom komentar dan jangan lupa share agar lebih banyak orang tua bisa belajar dari sini.

CARA BERETIKA DALAM KEKUASAAN


SILAHKAN BACA NARASUMBER ARTIKEL DARI LOGIKA FILSUF :
Apakah kita sedang menyaksikan panggung kekuasaan yang kehilangan ruh etika, di mana politik hanya menjadi arena perebutan pengaruh tanpa menimbang maslahat rakyat?

Imam Al-Ghazali menulis karya ini pada abad ke-11 sebagai respons atas dekadensi moral para penguasa Abbasiyah. Buku ini bukan sekadar nasihat, tetapi juga peringatan keras: kekuasaan yang tidak ditopang adab akan melahirkan tirani yang menggerogoti agama dan masyarakat.

Indonesia mengalami paradoks politik: demokrasi berjalan, tetapi kepercayaan publik kian menurun. Korupsi politik, oligarki, hingga praktik transaksional kerap menyingkirkan kepentingan rakyat. Al-Ghazali menegaskan bahwa politik tanpa nilai keadilan adalah pengkhianatan terhadap amanah kepemimpinan. Ini relevan untuk menilai wajah politik kita: apakah ia masih melayani rakyat, atau justru melayani hasrat kuasa segelintir elit?

Mengapa Buku Ini Harus Dibaca?

 1. Karena ia menawarkan kerangka moral bagi politik yang selama ini didominasi oleh strategi dan taktik kosong.

 2. Karena ia menunjukkan bahwa kepemimpinan bukan sekadar manajemen kekuasaan, tetapi juga tanggung jawab spiritual.

 3. Karena ia mengingatkan: runtuhnya peradaban selalu berawal dari runtuhnya moral para penguasa.

Membaca buku ini adalah cara untuk kembali menghubungkan politik dengan nilai-nilai adab dan akhlak.

Tiga Poin Penting dari Buku

 1. Kekuasaan adalah amanah, bukan hak milik. Seorang pemimpin tidak boleh menganggap jabatannya sebagai harta pribadi yang bisa diwariskan atau diperdagangkan.

 2. Pemimpin tanpa keadilan adalah musibah. Al-Ghazali menegaskan, satu jam keadilan seorang pemimpin lebih berharga daripada seribu tahun ibadah individu.

 3. Nasihat adalah benteng kekuasaan. Penguasa yang menutup telinga dari kritik akan terjebak dalam lingkaran zalim.

Bayangkan sebuah negeri di mana pemimpin mengubah rakyat menjadi sekadar angka statistik. Mereka hanya hadir ketika pemilu tiba, lalu dilupakan begitu saja. Dalam kerangka Al-Ghazali, ini sama saja dengan menjadikan rakyat sebagai “tumbal legitimasi”, bukan manusia dengan martabat.

Lebih ekstrem lagi, jika sebuah rezim menutup ruang kritik, maka politik berubah menjadi teater totalitariandi mana rakyat dipaksa bersorak untuk kebohongan, dan diamnya mereka dianggap tanda setuju.

Imam Al-Ghazali tidak sekadar menulis untuk masanya, tetapi juga untuk kita hari ini. Politik tanpa adab hanyalah tipu daya, dan kekuasaan tanpa akhlak hanyalah kehancuran yang menunggu waktu.
Jika ingin memahami bagaimana seharusnya pemimpin dipandu oleh nilai, bukan hanya nafsu, maka buku ini wajib dibaca.

Dapatkan bukunya, baca, lalu uji politik di negeri ini dengan kacamata adab yang ditawarkan Al-Ghazali. Karena tanpa itu, kita hanya akan menjadi penonton dalam tragedi politik yang berulang.

TANGGAPAN ZUL FATMAH :

Politik adalah ri'ayatusysyu'unil ummah, mengurus urusan  rakyat menggunakan aturan2 Allah SWT. Pemimpin dipilih untuk melaksanakan perintah2 Allah ketika mengurus rakyatnya, bukan melaksanakan undang2 yang dibuat oleh sekelompok manusia yang duduk di DPR.

Kedaulatan( kekuasaan untuk membuat aturan/UU) hanya ditangan Allah, bukan ditangan anggota DPR. 

Dari sini sudah tergambar kebahagiaan dan kesejahteraan yang akan dirasakan oleh rakyat itu akan jadi kenyataan, bukan lagi lip service.

Imam Al Gazali mengatakan, agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama adalah pondasinya, kekuasaan adalah penjaganya.

Sesuatu yang tidak punya pondasi akan runtuh.Dan yang tidak punya penjaga  akan hilang.

Mungkin saatnya kita harus mempertimbangkan istilah etika yang tak punya bobot, karena ada syariat Allah yang ketika diikuti dan dijalankan, kita akan mendapatkan pahala. Pahala itu akan dibalas dengan kenikmatan luarbiasa dari Allah kelak di akhirat dan didunia  hidup akan bahagia.

Agustus 19, 2025

CARA MENDIDIK ANAK UNTUK MENCINTAI DIRI SENDIRI DAN MANDIRI

Anak adalah hasil buah cinta dari pasangan suami istri yang sangat diidam-idamkan,dengan kehadiran anak dalam berumah tangga menjadikan suasana bahagia,apalagi disaat usia balita yang sedang lucu-lucunya, 
Note: Gambar diambil dari wikipedia 

akan tetapi orang tua memilki kewajiban untuk mendidik anak agar tidak terperosok ke lobang kesrngsaraan dan kenistaan dikala tumbuh dewasa, bahkan ada pepatah dalam islam : anak akan menjadi yahudi atau nasrani atau majusi  tergantung cara mendidiknya orang tua , maksudnya orang tua adalah memiliki peran yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak menuju dewasa.
blBerikut di bawah adalah artikel yang kami ambil dari acun Logika Filsuf , yaitu 7 cara mendidik anak untuk mencintai diri : 

Ada satu fakta pahit yang jarang dibicarakan: banyak orang dewasa tumbuh dengan luka karena tidak pernah diajarkan cara mencintai dirinya sejak kecil. Mereka pandai berprestasi, disiplin, bahkan sopan di depan orang lain, tapi diam-diam benci pada dirinya sendiri. Menurut American Psychological Association, tingkat depresi pada remaja meningkat signifikan karena rendahnya self-love yang ditanamkan sejak masa anak-anak. Artinya, mencintai diri bukanlah ajaran “nanti setelah besar”, tapi fondasi penting yang harus dibentuk sejak dini.

Seorang anak yang belajar mencintai dirinya akan tumbuh lebih tangguh menghadapi kegagalan, lebih berani mengekspresikan diri, dan lebih tenang ketika masuk ke dalam lingkungan sosial yang keras. Di rumah, hal ini bisa kita lihat sederhana: anak yang salah menggambar tidak merasa harus menyobek kertasnya, tapi malah berkata, “Aku bisa coba lagi.” Sebaliknya, anak yang tidak pernah diajarkan self-love bisa langsung merasa dirinya bodoh hanya karena salah satu soal matematika. Dari sini, jelas bahwa mendidik anak mencintai dirinya adalah investasi psikologis paling mahal yang orang tua bisa berikan.

1. Ajarkan penerimaan diri sejak dini

Menurut Carl Rogers dalam On Becoming a Person, konsep unconditional positive regard adalah kunci utama seseorang bisa berkembang sehat. Anak yang merasa diterima tanpa syarat oleh orang tuanya akan memiliki dasar kuat untuk menghargai dirinya. Dalam praktik sehari-hari, ini tampak sederhana: saat anak pulang dengan nilai rendah, orang tua tidak langsung memarahinya, melainkan mendengarkan ceritanya lebih dulu.

Jika anak terbiasa menerima cinta hanya ketika berprestasi, maka ia akan tumbuh dengan pola pikir bahwa dirinya berharga hanya saat berhasil. Ini berbahaya, karena setiap kali gagal ia merasa dirinya tak layak. Ketika anak sejak dini mendapat pesan bahwa ia dicintai apa adanya, ia belajar bahwa kegagalan bukanlah akhir, melainkan bagian dari proses hidup.

Kita bisa mulai dengan ucapan yang menegaskan penerimaan diri. Misalnya, ketika anak berkata “Aku jelek karena gambarku tidak bagus”, orang tua bisa merespons “Gambarmu mungkin belum sesuai harapan, tapi kamu tetap hebat karena berusaha.” Dengan cara ini, anak belajar mencintai dirinya di tengah keterbatasan, bukan hanya saat dalam kemenangan.

2. Tanamkan kebiasaan berbicara positif

Shad Helmstetter dalam What to Say When You Talk to Yourself menegaskan bahwa kata-kata yang diulang dalam pikiran akan membentuk keyakinan dan perilaku. Anak yang terbiasa mengulang kalimat positif tentang dirinya cenderung lebih percaya diri dibandingkan anak yang dipenuhi kritik internal.

Sayangnya, banyak orang tua secara tidak sadar mengajarkan “self-talk negatif” dengan kalimat sederhana seperti “Kamu memang ceroboh” atau “Kamu selalu malas.” Kalimat-kalimat ini akhirnya menempel dan menjadi identitas anak. Anak yang terlalu sering mendengar hal itu akhirnya percaya bahwa dirinya memang tidak bisa berubah.

Sebaliknya, jika orang tua mengarahkan anak untuk mengubah ucapannya, seperti dari “Aku bodoh” menjadi “Aku sedang belajar,” maka perlahan anak membangun hubungan sehat dengan dirinya. Mengajak anak bercermin dan menyebutkan tiga hal yang ia sukai tentang dirinya setiap hari bisa menjadi latihan kecil tapi berdampak besar. Untuk konten eksklusif seputar psikologi anak, jangan lupa berlangganan di logikafilsuf.

3. Ajarkan anak menghargai tubuhnya

Louise Hay dalam You Can Heal Your Life menekankan bahwa mencintai diri sendiri juga berarti berdamai dengan tubuh. Anak-anak perlu belajar bahwa tubuh mereka layak dihormati, bukan hanya dinilai dari penampilan.

Contoh sederhana bisa kita lihat saat anak menolak makan sayur. Alih-alih memaksa dengan ancaman, orang tua bisa menjelaskan bahwa tubuh butuh nutrisi agar kuat bermain, berlari, dan tumbuh tinggi. Dengan begitu, anak tidak melihat makanan sehat sebagai “hukuman,” melainkan bentuk cinta kepada tubuhnya.

Selain itu, anak juga perlu diajarkan menghargai tubuhnya dari sentuhan dan batasan pribadi. Misalnya, ketika ia tidak nyaman dipeluk orang lain, orang tua perlu mendukung hak anak untuk berkata “tidak.” Hal ini bukan sekadar soal keamanan, tetapi juga tentang bagaimana anak belajar bahwa tubuhnya pantas dihormati, dan itu bagian dari self-love.

4. Izinkan anak mengekspresikan emosi

John Gottman dalam Raising an Emotionally Intelligent Child menjelaskan bahwa anak yang diizinkan mengekspresikan emosinya akan tumbuh dengan kesehatan mental lebih baik. Mengajarkan anak mencintai diri tidak lepas dari melatihnya menerima emosinya sendiri.

Sayangnya, banyak budaya menganggap anak yang menangis adalah lemah. Anak laki-laki sering ditegur “jangan cengeng,” padahal menangis adalah mekanisme alami meredakan stres. Jika sejak kecil emosi ditekan, anak akan tumbuh dengan perasaan bahwa dirinya salah karena merasakan sesuatu.

Sebaliknya, ketika orang tua mendengarkan emosi anak tanpa menghakimi, anak belajar bahwa dirinya sah untuk merasa sedih, marah, atau kecewa. Misalnya, saat anak kehilangan mainan, orang tua bisa berkata, “Aku tahu kamu sedih karena mainanmu hilang. Itu wajar.” Dari sini, anak akan merasa lebih berdamai dengan dirinya.

5. Dorong anak untuk merayakan usaha, bukan hanya hasil

Carol Dweck dalam Mindset: The New Psychology of Success menegaskan pentingnya growth mindset dalam mendidik anak. Anak yang diajarkan bahwa usaha lebih penting daripada hasil akan lebih mudah mencintai dirinya bahkan saat gagal.

Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini terlihat saat anak ikut lomba menggambar. Jika orang tua hanya berkata “Kamu juara pertama, hebat sekali,” anak belajar mencintai dirinya hanya ketika berhasil. Namun, jika orang tua berkata “Aku bangga kamu sudah berusaha menyelesaikan gambar itu dengan tekun,” anak akan belajar bahwa dirinya berharga terlepas dari hasil akhir.

Dengan begitu, anak tumbuh lebih tahan banting menghadapi kegagalan. Mereka tidak menganggap kesalahan sebagai bukti dirinya tidak layak, melainkan sebagai peluang untuk belajar. Pola pikir ini adalah pondasi kuat dari self-love.

6. Ciptakan ruang aman untuk eksplorasi

Peter Gray dalam Free to Learn menunjukkan bahwa anak membutuhkan kebebasan untuk mencoba, salah, dan mengeksplorasi dunianya. Tanpa ruang aman, anak akan tumbuh dengan rasa takut berlebihan dan sulit mencintai dirinya secara utuh.

Contoh sehari-hari adalah ketika anak ingin mencampur berbagai warna cat di rumah. Banyak orang tua melarang karena takut kotor. Padahal, dari eksperimen kecil itu anak belajar bahwa ia bisa menciptakan sesuatu yang unik, meskipun tidak selalu indah. Ini adalah bentuk penerimaan terhadap dirinya sendiri.

Dengan memberi ruang aman, anak merasa bahwa dirinya pantas bereksperimen tanpa takut dihakimi. Justru dari ruang itulah anak belajar mengenali potensi, bakat, sekaligus batas dirinya. Semua itu bagian penting dari mencintai diri.

7. Ajarkan anak untuk bersyukur pada dirinya sendiri

Robert Emmons dalam Thanks! How Practicing Gratitude Can Make You Happier membuktikan bahwa rasa syukur meningkatkan kebahagiaan dan kesehatan mental. Mengajarkan anak untuk bersyukur pada dirinya adalah cara sederhana menumbuhkan self-love.

Bersyukur bukan hanya soal makanan atau hadiah, tetapi juga soal usaha diri. Anak bisa diajak mengatakan “Terima kasih kakiku, sudah kuat berlari hari ini” atau “Aku senang aku berani bicara di kelas.” Hal ini membentuk pola pikir bahwa dirinya layak dihargai bahkan dalam hal-hal kecil.

Ketika anak terbiasa bersyukur pada dirinya, ia tumbuh dengan sikap yang lebih hangat pada kekurangan dan kelebihannya. Ia belajar bahwa cinta pada diri sendiri bukanlah kesombongan, melainkan pengakuan bahwa dirinya pantas dihargai.

Mencintai diri adalah bekal utama anak menghadapi dunia yang penuh kritik dan standar palsu. Jika sejak kecil anak sudah kuat dengan fondasi ini, ia akan lebih sulit dijatuhkan oleh penilaian orang lain. Bagaimana menurut Anda, sudahkah kita cukup mengajarkan anak-anak kita cara mencintai dirinya? Tulis pendapat Anda di kolom komentar dan jangan lupa bagikan agar semakin banyak orang tua belajar hal ini.
Berikut artikel yang lain untuk anak mandiri :
Banyak orang tua keliru menganggap kemandirian anak muncul dengan sendirinya seiring pertumbuhan. Faktanya, penelitian dalam The Gift of Failure karya Jessica Lahey menunjukkan bahwa terlalu banyak intervensi orang tua justru membuat anak kurang mampu mengambil keputusan sendiri. Kemandirian adalah keterampilan yang dibentuk, bukan bawaan lahir.

Contoh sederhana, anak berusia 7 tahun yang masih selalu dipakaikan baju oleh orang tuanya, akan kesulitan mengurus diri ketika remaja. Sebaliknya, anak yang sejak kecil dilatih untuk membereskan mainannya memiliki dasar disiplin dan tanggung jawab. Artinya, rutinitas kecil di rumah bisa jadi pintu besar menuju pribadi mandiri.

Berikut adalah 7 cara membentuk anak lebih mandiri, dibangun dari temuan para ahli pendidikan anak dan psikologi perkembangan yang layak direnungkan.

1. Beri ruang gagal sejak dini

Jessica Lahey dalam The Gift of Failure menegaskan bahwa kegagalan kecil adalah kesempatan emas untuk belajar. Jika orang tua selalu melindungi anak dari risiko, mereka kehilangan peluang melatih ketahanan mental. Misalnya, anak yang lupa membawa buku pelajaran ke sekolah sebaiknya dibiarkan merasakan konsekuensinya.

Kegagalan yang dialami akan menjadi pelajaran praktis yang jauh lebih berharga ketimbang nasihat panjang lebar. Anak belajar bahwa tanggung jawab pribadi membawa dampak langsung terhadap kenyamanan dirinya. Melalui itu, ia belajar membuat perencanaan sederhana seperti menyiapkan tas sekolah malam sebelumnya.

Menghindari kegagalan sama saja menghindari pembelajaran. Maka, keberanian orang tua untuk tidak selalu “menyelamatkan” anak justru menjadi pondasi kemandirian.

2. Libatkan anak dalam pekerjaan rumah tangga

Richard Weissbourd dalam Raising Caring, Responsible, and Courageous Children menekankan pentingnya melibatkan anak dalam pekerjaan rumah. Aktivitas seperti menyapu, mencuci piring, atau menata meja makan membuat anak sadar bahwa kontribusinya nyata.

Ketika anak dilibatkan, mereka belajar tentang tanggung jawab sosial dalam lingkup kecil, yaitu keluarga. Mereka juga merasakan kepuasan karena dianggap mampu berperan. Misalnya, seorang anak yang rutin diberi tanggung jawab memberi makan hewan peliharaan akan mengembangkan rasa peduli sekaligus disiplin.

Rutinitas semacam ini membentuk kebiasaan, dan kebiasaan adalah alat paling efektif membangun kemandirian.

3. Ajarkan manajemen waktu sejak kecil

Dalam Smart but Scattered karya Peg Dawson dan Richard Guare, dijelaskan bahwa anak membutuhkan latihan eksekutif function, salah satunya adalah mengelola waktu. Memberi anak jadwal sederhana, seperti waktu belajar, bermain, dan tidur, membuatnya terbiasa mengatur ritme hidup.

Contoh sederhana, anak bisa dilatih membuat daftar kegiatan harian dengan gambar atau warna. Dengan begitu, mereka memahami keterbatasan waktu sekaligus belajar memprioritaskan. Anak yang terbiasa menghargai waktu lebih siap menghadapi tantangan sekolah dan kehidupan sosial.

Tanpa disiplin waktu, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang selalu bergantung pada orang lain untuk mengatur langkahnya.

4. Dorong anak mengambil keputusan sendiri

Ellen Galinsky dalam Mind in the Making menguraikan bahwa keterampilan mengambil keputusan adalah salah satu kompetensi dasar kehidupan. Anak yang dibiasakan memilih, bahkan dari hal kecil seperti pakaian atau camilan, akan mengembangkan rasa percaya diri.

Dalam praktik sehari-hari, orang tua bisa memberi pilihan terbatas: apakah anak mau belajar dulu baru bermain, atau sebaliknya. Pola ini bukan memberi kebebasan mutlak, melainkan ruang aman untuk latihan mengambil keputusan.

Anak belajar bahwa setiap keputusan membawa konsekuensi, dan mereka bertanggung jawab atas hasilnya. Itulah esensi dari kemandirian sejati.

5. Hindari terlalu sering menolong

Julie Lythcott-Haims dalam How to Raise an Adult mengkritik kebiasaan orang tua yang terlalu cepat menolong anak dalam kesulitan kecil. Misalnya, mengikat tali sepatu padahal anak sudah cukup umur untuk melakukannya.

Kebiasaan “overhelping” hanya akan menghambat perkembangan keterampilan praktis anak. Jika orang tua sabar memberi kesempatan, anak akan merasa lebih percaya diri saat berhasil mengatasinya sendiri. Rasa pencapaian kecil itu membangun fondasi kemandirian yang besar.

Di sini, kesabaran orang tua diuji. Menahan diri untuk tidak membantu justru adalah bentuk cinta yang lebih dewasa.

6. Latih anak mengelola emosi

Daniel Goleman dalam Emotional Intelligence menekankan bahwa kemandirian tidak hanya soal fisik, tetapi juga emosional. Anak yang tidak mampu mengelola emosinya akan kesulitan membuat keputusan, berinteraksi, dan bertanggung jawab.

Misalnya, saat anak kesal karena kalah dalam permainan, ajak dia mengenali emosinya: marah, kecewa, atau sedih. Memberi bahasa pada emosi membantu anak memahami dirinya. Dengan itu, ia belajar mencari solusi ketimbang melampiaskan tantrum.

Anak yang stabil emosinya akan lebih percaya diri menjalani kehidupan tanpa selalu bergantung pada validasi orang tua.

7. Tumbuhkan budaya apresiasi usaha, bukan hasil

Carol Dweck dalam Mindset: The New Psychology of Success menekankan pentingnya menumbuhkan growth mindset. Anak perlu dipuji karena usaha yang dilakukan, bukan sekadar hasil yang dicapai.

Seorang anak yang dipuji karena rajin berlatih piano, meskipun salah, akan lebih termotivasi dibanding anak yang hanya dipuji ketika berhasil tampil sempurna. Dengan begitu, mereka belajar bahwa proses jauh lebih penting dari sekadar hasil akhir.

Budaya ini membuat anak berani mencoba hal baru tanpa takut gagal. Itulah pondasi utama anak mandiri yang siap menghadapi dunia.

Membesarkan anak mandiri bukan tentang membiarkan mereka sendirian, tetapi tentang memberi ruang cukup untuk tumbuh. Rutinitas kecil, keputusan sederhana, hingga kemampuan emosional adalah fondasi yang tak bisa diabaikan.

Kalau menurut Anda, apa kebiasaan yang paling efektif melatih kemandirian anak di rumah? Tulis di kolom komentar dan jangan lupa bagikan tulisan ini agar makin banyak orang tua bisa belajar bersama.
#cara mendidik
#anak 
#buah hati
#cara mencintai 

CARA MEMBENTUK ANAK JADI PEMIMPIN

Pemimpin adalah orang yang mampu untuk memimpin dalam kelompok, atau organisasi bahkan dalam keluarga, dan ini akan berpengaruh besar terhadap kelangsungan dari kelompok tersebut, tentu saja dikatakan pemimpin pasti ada anggota yang dipimpin, dan harus dipatuhi.


Adapun sifat pemimpin bisa merupakan bakat bawaan dari lahir akan tetapi pemimpin juga bisa dibentuk.
berikut di bawah artikel yang disajikan oleh acun "Logika Filsuf" bagaimana cara membentuk anak jadi pemimpin, silahkan baca:

Banyak orang tua terjebak pada kesalahan besar: mendidik anak hanya untuk patuh, bukan untuk memimpin. Padahal, penelitian menunjukkan anak yang dibiasakan mengambil keputusan sejak kecil lebih siap menghadapi tekanan sosial saat dewasa. Menurut laporan dari Harvard Business Review on Leadership for Kids, jiwa kepemimpinan bukanlah bakat bawaan, melainkan keterampilan yang bisa dilatih sejak dini.

Di rumah tangga biasa, orang tua kerap memilih jalan cepat: mengatur segalanya agar anak “tidak ribet”. Anak dilarang salah, dilarang berargumen, bahkan dilarang mencoba. Hasilnya? Mereka tumbuh dengan rasa takut gagal, bukan dengan mentalitas pemimpin. Kepemimpinan sebenarnya berawal dari hal-hal kecil: berani mengutarakan pendapat, berani berbeda, dan bertanggung jawab atas pilihan.

Membentuk jiwa pemimpin pada anak bukan berarti menjadikannya keras kepala atau otoriter, melainkan membiasakan keberanian berpikir kritis, empati, dan pengendalian diri. Inilah tujuh cara membentuk jiwa pemimpin pada anak yang bersumber dari literatur psikologi pendidikan dan kepemimpinan modern.

1. Ajarkan Pengambilan Keputusan Sejak Dini

Menurut Bruce Tulgan dalam It’s Okay to Manage Your Boss, inti kepemimpinan adalah kemampuan mengambil keputusan meski dalam ketidakpastian. Anak perlu diberi kesempatan memilih, meski sederhana, seperti menentukan baju yang ingin dipakai atau menu sarapan.

Saat anak terbiasa membuat pilihan kecil, mereka belajar menimbang konsekuensi. Misalnya, ketika memilih main di luar saat cuaca mendung, anak akan belajar menerima akibat jika kemudian kehujanan. Orang tua tidak perlu langsung mengintervensi, karena proses itulah yang membangun kepercayaan diri.

Melatih anak mengambil keputusan sejak dini juga mengurangi risiko mereka tumbuh menjadi pribadi pasif. Anak yang terbiasa diberi ruang memilih akan lebih siap menghadapi dunia sekolah dan pekerjaan, di mana keputusan penting seringkali harus diambil dengan cepat.

2. Biasakan Anak Mengungkapkan Pendapat

Dalam Teaching Critical Thinking karya bell hooks, ditegaskan bahwa pemimpin lahir dari keberanian untuk bersuara. Anak perlu dilatih menyampaikan apa yang dipikirkan, meskipun berbeda dengan orang tua atau guru.

Contohnya saat makan malam, orang tua bisa bertanya, “Menurut kamu, lebih baik liburan ke gunung atau pantai? Kenapa?” Diskusi ringan seperti ini memberi ruang bagi anak untuk mengasah logika dan membangun keberanian mengutarakan opini.

Jika anak hanya dibiasakan patuh tanpa diberi ruang bicara, mereka bisa tumbuh dengan mentalitas ikut arus. Justru dengan mendengar argumen anak, orang tua sedang menanamkan pondasi kepemimpinan berbasis pemikiran kritis.

3. Latih Empati dalam Kehidupan Sehari-hari

Daniel Goleman dalam Emotional Intelligence menekankan bahwa kepemimpinan sejati tidak hanya soal logika, tapi juga kecerdasan emosional. Anak yang mampu memahami perasaan orang lain akan lebih mudah diterima dan dipercaya sebagai pemimpin.

Cara sederhana melatihnya adalah dengan membiasakan anak peduli pada orang sekitar. Misalnya, ketika teman sekolah sedih karena mainannya hilang, orang tua bisa bertanya, “Apa yang bisa kamu lakukan untuk membuat dia merasa lebih baik?”

Latihan empati ini membentuk pemahaman bahwa kepemimpinan bukanlah soal dominasi, melainkan kemampuan merangkul. Anak yang terbiasa berempati akan lebih dihormati karena ia tidak hanya pintar, tapi juga peka terhadap orang lain.

4. Dorong Anak Menghadapi Kegagalan

John C. Maxwell dalam Failing Forward menjelaskan bahwa pemimpin hebat justru terbentuk dari kegagalan. Anak yang terlalu dilindungi dari kesalahan akan tumbuh rapuh ketika menghadapi tantangan nyata.

Contoh konkret adalah saat anak kalah lomba lari di sekolah. Alih-alih menghibur dengan kalimat “Tidak apa-apa, kamu pasti menang lain kali,” orang tua bisa mengajaknya merefleksikan, “Apa yang bisa kamu perbaiki agar lebih cepat besok?”

Menghadapi kegagalan membuat anak terbiasa bangkit. Dari situ lahirlah ketangguhan, salah satu kualitas terpenting dalam kepemimpinan. Jangan lupa, untuk konten eksklusif seputar psikologi kepemimpinan anak, kamu bisa berlangganan di logikafilsuf.

5. Beri Kesempatan Memimpin dalam Hal Kecil

Dalam The Leader in Me karya Stephen R. Covey, anak-anak bisa belajar kepemimpinan melalui tugas sederhana, misalnya memimpin doa keluarga atau membagi tugas saat bermain kelompok.

Dengan pengalaman kecil itu, anak belajar bahwa memimpin bukan sekadar “mengatur”, melainkan memastikan semua berjalan dengan baik. Saat memimpin main kelompok, anak akan belajar mendengarkan ide temannya, mengatur giliran, dan menjaga agar permainan tetap menyenangkan.

Peluang memimpin dalam lingkup kecil membangun kepercayaan diri. Saat anak berhasil memimpin dalam skala kecil, ia akan siap menghadapi peran lebih besar di kemudian hari.

6. Biasakan Tanggung Jawab pada Konsekuensi

Angela Duckworth dalam Grit menekankan pentingnya ketekunan dan tanggung jawab. Anak perlu dilatih untuk memahami bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi yang harus ditanggung.

Misalnya, jika anak lupa membawa buku sekolah, orang tua sebaiknya tidak langsung mengantarkan. Biarkan anak belajar menghadapi konsekuensinya. Dari situ, mereka belajar bahwa tanggung jawab adalah bagian dari kepemimpinan.

Tanggung jawab yang terlatih sejak kecil menjadikan anak lebih mandiri. Mereka tidak akan tumbuh dengan mental bergantung, melainkan siap mengelola resiko dengan sikap dewasa.

7. Bangun Pola Pikir Melayani

James C. Hunter dalam The Servant: A Simple Story About the True Essence of Leadership menegaskan bahwa pemimpin sejati adalah pelayan bagi orang-orangnya. Anak perlu diajarkan bahwa memimpin bukan berarti menjadi bos, melainkan memberi manfaat bagi kelompok.

Orang tua bisa melatih ini dengan memberi contoh. Misalnya, saat ada pekerjaan rumah tangga, anak diajak ikut membantu bukan karena disuruh, tapi karena ingin meringankan beban keluarga. Dari situ, ia belajar bahwa kepemimpinan berarti melayani, bukan dilayani.

Anak yang dibesarkan dengan pola pikir melayani akan tumbuh dengan sikap rendah hati dan mampu membangun kepercayaan. Inilah fondasi yang membuatnya kelak dihormati bukan karena jabatan, tapi karena karakter.

Mengasuh anak untuk menjadi pemimpin tidak berarti menjejalkan ambisi orang tua, melainkan membekali mereka dengan keberanian, empati, tanggung jawab, dan ketangguhan. Jika kamu setuju bahwa dunia butuh lebih banyak pemimpin muda dengan jiwa yang sehat, bagikan tulisan ini dan tinggalkan komentar tentang pengalamanmu mendidik anak dengan semangat kepemimpinan.

Agustus 18, 2025

KESALAHAN PENGUSAHA PEMULA OLEH RICO HUANG

Salah satu kesalahan pengusaha pemula adalah menganggap semua orang itu baik. Jawabannya tidak & kamu harus tau fakta yang ga semua orang mau bongkar tapi inilah kenyataannya kalau kamu mau tenang & ga jatuh ke jurang paling dalam.


Disclaimer : 18 tahun jalanin bisnis bikin saya makin peka untuk bisa tahu mana orang yang perlu saya hindari & saya ajak sukses bareng.

1. Tidak ada karyawan loyal.
Mau sebaik apapun karyawan bekerja denganmu, mereka akan pergi satu hari nanti. Bukan karena mereka ga baik, tapi karena setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing.

Perusahaanmu mau jatuh, ya lebih baik karyawan resign daripada ga bisa makan.
Perusahaanmu ga bisa ngasih fasilitas terbaik, ya wajar aja karyawan pergi nyari yang lebih baik
Perusahaanmu ga punya culture, sistem, career path & kerja serabutan, kantor kumuh & ga ada masa depan, mimpin juga berantakan malah doyan marah-marah doang tanpa solusi, ya wajar mereka pergi.

Jangan baik karena kamu takut mereka pergi, tapi pantaskan diri & bisnismu agar mereka dengan hati yang tulus memilih bisnismu dibanding yang lain. Karena bisnismu menyediakan segala hal yang tim butuhkan secara konsisten. Bukan cuma gaji, SEMUA.

Bonusnya, mereka akan pelan-pelan percaya dengan kamu, bisnismu & malah kadang bisa juga jadi mata-mata untuk tim yang toxic & ga relevan.

2. Tidak ada teman & sahabat dalam bisnis.
Kamu ajak teman baikmu untuk bisnis bareng, sebelum bisnis dia baik seperti malaikat. Pas jalanin bisnis kamu kaget karena temanmu itu sekarang seperti iblis.

Awalnya ga hitungan, lama-lama semua dihitung.
Awalnya kamu doyan ngalah, lama-lama suka ribut.
Awalnya bisnis terasa adil, lama-lama kok ya ga adil.
Terus ribut, pertemanan hilang & jadi kompetitor.

Kejadian itu kamu ingat seumur hidup bikin sakit hati karena kamu ga sadar bahwa tidak ada teman & sahabat dalam bisnis.

Lebih baik kamu berteman karena bisnis daripada kamu berbisnis karena teman. Teman yang diciptakan dari bisnis adalah teman transaksional & it's ok untuk datang & pergi.

Beda sama bisnis karena teman yang biasanya dilandasi pakai emosi bukan hitung-hitungan. Namanya juga bisnis / dagang, semua harus jelas hitung-hitungannya, bukan karena nyaman & emosi pake alasan demi bantu teman.

3. Kamu harus tetap jadi orang baik
Seapes-apesnya hidupmu, sekotor-kotornya kompetitor, sebrengsek - brengseknya mereka memperlakukan kamu, kamu harus tetap jadi orang baik & ga niru apa yang mereka lakukan, karena karma itu ada.

Ada sebab ada akibat. Siapa yang kotor akan dikotorin orang lain & bukan berarti kamu harus mengikuti cara mereka.

Mau disomasi, panggil preman, sita ini & itu, karyawan di hijack, ada mata-mata yang bocorin rahasia perusahaan, ditipu karyawan semua adalah proses pendewasaan yang layak dilewati bukan dicontoh.

Karena hanya dengan jadi orang baik, kamu bisa berpikir jernih & melakukan inovasi yang membuat konsumen memilih kamu. Tapi kalau kamu ga jadi orang baik, semua orang PASTI kamu curangin.

Entah produk & gaya marketingmu overclaim ke konsumen, entah kamu curangin suppliermu, ngancurin kompetitor dengan buzzer & cara-cara ga bagus, semua. 

Pada akhirnya konsumen juga ga akan kembali sama kamu & yang ada kamu hanya akan mendatangkan musuh baru termasuk karyawan & teman yang 1 vibes berengseknya sama kayak kamu.

Ingat, 1000 teman terlalu sedikit, 1 musuh terlalu banyak. Jadilah orang baik. Memang tidak semua orang baik & kamu harus berhati-hati.

That's why kamu harus jadi orang baik supaya kamu didekatkan oleh orang-orang yang juga baik, bila ditinggalkan jangan sakit hati, kamu lagi bisnis bukan buka yayasan sosial.

Sekian

tanggapan2:

oleh Shanty Purba :
Aku pernah mecat seseorang karena mencium bau tak sedap ke depannya. 

Ke mana aku mau pergi dia minta ikut. 

Siapa orang yang kutelepon dia nanya apakah itu partner bisnis di tempat lain. 

Di saat dia bercerita, selalu saja membeberkan kekayaan bosnya sebelumnya, ditambah bumbu cerita tak sedap. Padahal yang seharusnya diceritakan adalah pengalaman kerja di tempat sebelumnya. Bukan harta si bos. 

Karyawan yang bener itu, kerjakan yang harus dikerjakan. Kalau mau kasih saran sebatas bidang kerjaan itu aja. Bos nya mau pergi ke luar kota ngga usah ditanya mau ngapain dan mau ketemu siapa.

Oleh Kempi Kempis :
Bner ko..saya pernah percayakan bisnis transportasi(expedisi) ke temen..saya percaya 100% ke dia ..ternya uang operasional truk rusak nabrak dia gak tanggung jawab sampeme habis semua aset saya untuk ngurusi itu semua,saya baru sadar ternyata dalam berbisnis gak selamanya temen Deket kita itu bisa saling support  ke kita,bisnis adalah hitungan untung dan rugi bukan tentang perasaan.an kasihan atau tidak tega.an..

Oleh Hendi :
Yes, itu lah realita nya dunia bisnis maupun pertemanan juga per karyawan nan.
Keren  Bro Rico pencerahan yg anda bedah sunggu real di lapangan actions 👍👍

Oleh Kiki Rahardja ;
Dalem bgt ko.. Pengalaman sama persis bgt... Ga ada tmn yg bener kalo udah urusan duit.. Yg ada jd musuh... Mendingan org lain malah jd tmn bisnis... Chaiyooo ko

Oleh Heru Purwa :
Saat usaha oleng...karyawan ajukan resign...giliran usaha baru lancar bos nya baru mau untung karyawan demo minta kenaikan gaji....hdhhh

Oleh Maria Rosa Delima 
Sepakat, justru temen yg sy percayailah yg menipu sy ratusan juta...hihi...dan ketika sy mintai pertanggungjwban, jwb an nya enteng bgt...namanya juga bisnis, wajar klo rugi





Agustus 15, 2025

CARA MENGERTI CINTA SESUNGGUHNYA

Kita semua pasti pernah jatuh cinta,dan cinta paling indah adalah cinta pertama, penuh dengan kekonyolan,kalau dikenang kadang bisa senyum-senyum sendiri,

jengkel karena dikhianati,gemes dan terasa campur aduk, namun apa sih sebenarnya cinta itu ? dan ada bermacam-macam jenis cinta, ada cinta monyet, cinta materi, cinta buta,cinta palsu, cinta nafsu dsb.
Yuk baca ini artikel yang saya copas ( dengan ijin ) dari Logika Filsuf ) 
Cinta yang sehat bukanlah tentang memiliki seseorang sepenuhnya, melainkan memberi mereka ruang untuk tetap menjadi diri sendiri. Ironisnya, banyak orang yang mengira bahwa tanda cinta terbesar adalah ketika pasangan mau diatur. Padahal, menurut penelitian psikologi hubungan, cinta yang dibangun di atas kontrol justru rapuh dan mudah hancur. Data dari The Five Love Languages karya Gary Chapman menunjukkan bahwa orang merasa paling dicintai ketika kebutuhannya dipahami, bukan ketika setiap gerak langkahnya diatur.

Kita sering melihat contoh di sekitar: pasangan yang memeriksa ponsel satu sama lain, mengatur cara berpakaian, bahkan memutuskan siapa yang boleh menjadi teman. Awalnya terlihat seperti perhatian, tetapi dalam jangka panjang memicu ketidakpercayaan dan hilangnya kebebasan. Cinta tanpa kontrol bukan berarti abai, melainkan memelihara rasa aman yang membuat kedua pihak berkembang.

1. Memahami Batas Diri dan Pasangan

Dalam Boundaries in Marriage karya Dr. Henry Cloud dan Dr. John Townsend, dijelaskan bahwa hubungan yang sehat dibangun atas kesadaran masing-masing pihak terhadap batas pribadi. Memahami batas berarti kita tahu sejauh mana kita bisa terlibat tanpa merusak otonomi pasangan. Banyak orang berpikir bahwa semakin dekat hubungan, semakin kabur batas di antara dua individu. Padahal, batas yang jelas justru membuat keintiman tumbuh tanpa rasa terancam.

Misalnya, ketika pasangan memilih menghabiskan waktu sendirian untuk membaca atau bertemu teman, sebagian orang akan merasa diabaikan. Namun jika batas dipahami, momen itu dipandang sebagai cara pasangan mengisi ulang energi. Ketika kita menghargai batas tersebut, kita sebenarnya sedang menunjukkan rasa percaya.

Di titik ini, kalau kamu ingin memahami lebih dalam bagaimana batas membentuk cinta yang sehat, kamu bisa berlangganan di logikafilsuf untuk konten eksklusif yang membahas strategi membangun otonomi tanpa kehilangan kedekatan.

2. Menumbuhkan Kepercayaan Sebelum Mengharapkan Loyalitas

Menurut Attached karya Amir Levine dan Rachel Heller, kepercayaan adalah pondasi emosional yang membuat hubungan aman. Tanpa kepercayaan, cinta akan dipenuhi kecurigaan yang mendorong perilaku mengontrol. Banyak pasangan salah langkah dengan menuntut kesetiaan sebelum membangun rasa aman.

Contohnya, seseorang yang terus menerus menanyakan keberadaan pasangannya setiap jam, bukan karena ingin tahu, tapi karena takut dikhianati. Lama-kelamaan, hal ini membuat hubungan sesak. Sebaliknya, jika kepercayaan dibangun melalui konsistensi tindakan dan keterbukaan komunikasi, rasa aman akan muncul dengan sendirinya. Loyalitas menjadi konsekuensi alami, bukan hasil paksaan.

3. Mengutamakan Komunikasi yang Jujur, Bukan Manipulatif

Dalam Nonviolent Communication karya Marshall Rosenberg, komunikasi sehat berarti mengungkapkan kebutuhan tanpa memaksa atau menyalahkan. Cinta yang tanpa kontrol mengandalkan kejujuran yang memberi ruang untuk perbedaan pendapat.

Kita bisa melihat ini dalam situasi sehari-hari: seseorang marah karena pasangannya pulang larut, tetapi bukannya mengungkapkan kekhawatiran, ia memilih diam dan bersikap dingin. Diam ini bukan solusi, melainkan bentuk manipulasi emosional. Mengatakan dengan jelas, “Aku khawatir ketika kamu pulang larut” lebih membangun daripada diam yang mengontrol.

4. Menghargai Kebebasan sebagai Bagian dari Cinta

Erich Fromm dalam The Art of Loving menekankan bahwa cinta sejati hanya mungkin jika kita mencintai seseorang dalam kebebasannya. Menghargai kebebasan berarti menerima bahwa pasangan punya dunia di luar hubungan.

Misalnya, pasangan yang mendukung satu sama lain untuk mengejar karier atau hobi meski itu berarti menghabiskan waktu terpisah. Orang yang mengontrol akan melihat hal ini sebagai ancaman, sementara orang yang memahami cinta sehat akan melihatnya sebagai pertumbuhan bersama.

5. Tidak Menggunakan Rasa Bersalah sebagai Senjata

Dalam Emotional Blackmail karya Susan Forward, salah satu bentuk kontrol yang paling sering terjadi adalah membuat pasangan merasa bersalah agar menuruti keinginan kita. Ini mungkin berhasil sesaat, tetapi menghancurkan kepercayaan dalam jangka panjang.

Misalnya, mengatakan “Kalau kamu sayang aku, kamu harus ikut” adalah bentuk manipulasi yang membuat cinta terasa seperti kewajiban, bukan pilihan. Cinta tanpa kontrol membiarkan pasangan mengambil keputusan dengan bebas, bahkan jika itu berarti mereka tidak selalu memilih sesuai keinginan kita.

6. Mengelola Rasa Takut Kehilangan

Brené Brown dalam Daring Greatly menjelaskan bahwa rasa takut kehilangan adalah pemicu utama perilaku mengontrol. Orang yang takut ditinggalkan cenderung berusaha mengikat pasangannya dengan aturan dan larangan.

Contoh yang umum adalah memaksa pasangan berhenti berteman dengan lawan jenis atau menghapus akun media sosialnya. Padahal, mengatasi rasa takut dengan membangun rasa percaya dan rasa cukup dalam diri akan lebih memperkuat hubungan.

7. Mengukur Cinta dari Kualitas, Bukan Kepemilikan

Menurut Alain de Botton dalam The Course of Love, cinta sejati tidak diukur dari seberapa banyak kita tahu tentang pasangan atau seberapa sering kita bersama, tetapi dari kualitas interaksi yang kita miliki. Fokus pada kualitas membuat hubungan lebih hangat tanpa rasa tercekik.

Misalnya, pasangan yang hanya bertemu dua kali seminggu tetapi setiap pertemuan penuh perhatian dan dukungan emosional seringkali lebih bahagia daripada mereka yang bersama setiap hari namun dipenuhi konflik karena kontrol berlebihan.

Hubungan yang bebas dari kontrol bukan berarti tanpa arah, melainkan memiliki kesadaran bahwa cinta adalah ruang yang kita jaga bersama. Jika kamu merasa artikel ini menggugah perspektifmu, tuliskan pandanganmu di kolom komentar dan ceritakan pengalamanmu tentang mencintai tanpa mengontrol.

CARA MENGHADAPI ORANG KERAS KEPALA

Watak dan karakter orang yang kita jumpai di masyarakat sangat berbeda-beda, jangankan dalam lingkungan sekitar, dalam keluarga saja anak, istri juga berbeda-beda,ada yang lembut, pendiam, banyak bicara alias bawel,penurut dan keras kepala, 

tentunya semua itu harus dihadapi agar kita bisa hidup damai dan tenang, nah berikut ada tip dari acun Kasih Tulus,untuk menghadapi orang yang keras kepala, silahkan dibaca , semoga bermanfaat :

Cara menghadapi orang yang keras kepala wajib diketahui oleh kamu yang people pleaser. Pasalnya menghadapi orang keras kepala ini bisa menjadi tugas yang menantang, terlebih bagi orang yang "tidak enakan".

Meskipun dengan pendekatan yang tepat, kamu dapat membangun komunikasi yang lebih baik dan menjalani interaksi yang lebih positif. Ada beberapa cara untuk menghadapi orang yang keras kepala.

1. Tenang. 
Cara yang pertama adalah penting untuk tetap tenang saat berinteraksi dengan orang yang keras kepala. Hindari merespon dengan emosi yang tinggi atau frustrasi, karena sikap seperti ini bisa memperburuk situasi.

2. Dengarkan dengan Penuh Perhatian. 
Cara menghadapi orang keras kepala berikutnya adalah coba untuk mendengarkan dengan penuh perhatian dan terbuka terhadap pandangan mereka, bahkan jika kamu tidak setuju. Memberikan perasaan bahwa mereka didengar bisa membuka jalan untuk dialog yang lebih baik.

3. Jangan Melawan dengan Keras Kepala. 
Menghadapi keras kepala dengan sikap serupa hanya akan membuat situasi lebih buruk. Cobalah untuk menghindari pertikaian yang tidak perlu dan berusaha untuk menemukan titik kesepahaman.

4. Gali Pandangan Orang Keras Kepala. 
Ajukan pertanyaan yang menggali lebih dalam tentang pandangan atau pendapat mereka. Ini dapat membantu dirimu memahami lebih baik alasan di balik pendirian orang keras kepala dan memungkinkan mereka untuk merenungkan perspektif mereka.

5. Beri Waktu. 
Terkadang, orang yang keras kepala mungkin membutuhkan waktu untuk merenungkan pendapat atau ide baru. Jangan terburu-buru memaksa mereka untuk mengubah pikiran mereka.

6. Kompromi. 
Coba untuk mencari kompromi atau solusi yang memungkinkan keduanya merasa puas. Berbicaralah tentang opsi yang mungkin memenuhi kepentingan mereka.

7. Bicara di Tempat yang Tepat. 
Pilih waktu dan tempat yang tepat untuk berbicara dengan orang keras kepala. Hindari berdebat atau mendiskusikan masalah yang sensitif di depan umum atau dalam situasi yang emosional.

Ingat selalu bahwa tidak selalu mungkin untuk mengubah pikiran orang yang keras kepala, tetapi kamu dapat menciptakan komunikasi yang lebih efektif dan berusaha mencapai pemahaman bersama.

Kepatuhan, kesabaran, dan empati adalah kunci untuk menghadapi situasi ini dengan bijaksana.

#Cara menghadapi
#Sifat orang
Baca juga artikel berikut : 

POLYESTER

BERITA VIRAL PERCERAIAN PRATAMA ARHAN MENDAPAT DUKUNGAN NETIZEN

Pratama Arhan semua masyarakat Indonesia mengetahuinya, salah satu pemain sepak bola nasional kelahiran Blora, Jawa Tengah ini memang memili...